Rabu, 15 April 2020

STAY at HOME atau jadi pembawa/korban COVID

Menentukan terduga Covid-19 bukankah hal yg mudah. Walau banyak sudah literatur dari negara lain, namun seringkali fakta yg kami temukan dilapangan tidak sama.

Bahkan bukan hanya saya, banyak pengalaman sejawat mendapatkan pasien positif Covid-19 tanpa sengaja, tidak terduga, karena klinis bahkan pemeriksaan penunjang sama sekali tidak mengarah ke Covid-19.

Contoh kasus pasien datang karena patah tulang untuk operasi, ternyata kemudian diketahui menderita Covid-19.
Contoh lain pasien cuci darah, baru diketahui setelah pasien Cuci darah, padahal sebelumnya tidak ada tanda-tanda ke arah Covid-19.

Pasien Covid-19 yang dioperasi layaknya pasien biasa, akibat ketidaktahuan klinisi akan menyebabkan Dokter dan nakes yg terlibat beresiko tinggi terpapar oleh Covid-19.
Sudah beberapa sejawat yg terpapar dan akhirnya meninggal karena ketidaktahuan sudah menangani dan terpapar pasien Covid-19.

Ruang dan alat yang dipakai beresiko terpapar sehingga sementara tidak bisa dipakai pasien berikutnya.
Pasien sendiripun beresiko gagal napas yang butuh ventilator, sementara banyak RS bukan rujukan Covid sehingga tidak tersedia ruang ICU khusus Covid-19.
Ini satu contoh kerugian jika pasien Covid-19 tidak terdeteksi dan mendapat perlakuan yg sama seperti pasien biasa.

Kondisi inilah yang membuat banyak keraguan dan ketakutan teman sejawat dilapangan.
Akibatnya setiap pasien ada sedikit gejala atau pemeriksaan penunjang yg mencurigakan, sudah dikonsul dan dicurigai sebagai Covid-19, karena sejawat tidak mau Lagi kecolongan.

Butuh pemeriksaan cepat yg bisa menentukan bahwa seorang pasien terduga Covid-19 atau tidak sehingga pasien bisa segera mendapatkan pengobatan suai penyakit yang dideritanya.
Terlambatnya diagnosis bisa menyebabkan kerugian bahkan tidak sedikit pasien yang kehilangan nyawanya.

Pasien terduga Covid-19 yang harusnya segera cuci darah, namun terpaksa  tidak bisa dilakukan karena diagnosis Covid-19 belum bisa disingkirkan.
Diagnosis lambat ditegakkan karena pemeriksaan Rapid test PCR yang sering tidak tersedia, belum lagi lamanya hasil pemeriksaan keluar, bisa satu sampai dua minggu, sehingga banyak yg akhirnya terpaksa meregang nyawa karena tidak bisa ditangani segera.
Padahal ternyata kemudian hari diketahui bahwa hasil test Covid-19 pasien tersebut negatif, artinya bukan pasien Covid-19.
Andainya diketahui lebih cepat tentu pasien bisa ditangani cepat dan nyawanya bisa diselamatkan.

Namun semua sudah terlambat, pasien sudah dimakamkan layaknya pasien Covid-19. Dimakamkan tanpa bisa dilayat oleh sanak kerabat, dan hanya bisa dilihat dari kejauhan.
Tidak ada peluk cium terakhir untuk mereka, sangat menyedihkan dan melukai perasaan keluarga yang ditinggalkan.
Apalagi ternyata kemudian diketahui bahwa pasien ternyata bukan pasien Covid-19 dan tidak tertangani sebagaimana harusnya.

Menghadapi wabah Covid-19 ini kita harus berpacu dengan waktu, makin lambat diagnosis maka makin lambat penanganan, makin banyak nyawa berguguran.
Penularannya yang cepat dan mudah, membuat penyakit ini menyebar dimana-mana mengenai siapa saja dan kapan saja, apalagi di rumah sakit.

Pasien dengan penyakit kronik seperti DM, PPOK, Asma, Hipertensi, pasien HD dll harus bolak balik ke rumah sakit padahal mereka adalah orang-orang dengan penyakit komorbid yang beresiko kematian tinggi ketika terpapar Covid-19.

Pemeriksaan Rapid Test PCR untuk Covid-19 ini sebenarnya tidak lama, bisa beberapa jam dan paling lama satu hari.
Namun karena  sering tidak tersedianya VTM sbg media pembawa sampel swab, juga dacron untuk swab sering habis menyebabkan  pemeriksaan harus menunggu bahkan berhari hari baru bisa dilakukan pemeriksaan swab.

Hasil pemeriksaan Covid-19
lambat keluar bahkan sampai berminggu, padahal kita harus segera memutuskan tindakan untuk pasien bahkan bukan lagi hitungan jam tapi menit. Contoh pasien butuh kateterisasi jantung atau operasi kepala segera.
Ini semua karena terbatasnya jumlah labor dan pendukungnya yg tidak sebanding dg jumlah sampel yang harus diperiksa.

Kita berpacu dengan waktu dalam menyelamatkan nyawa manusia. Sementara semua terkendala oleh sarana.

Ini semua hanya pemerintah yang bisa menyelesaikannya. Butuh keseriusan dan gerak cepat pemerintah untuk bisa menyiapkan semua sarana prasarana sehingga korban jiwa bisa diminimalisir.

Harusnya setiap rumah sakit disediakan laboratorium yang bisa memeriksa Covid-19 sendiri, minimal setiap kota harus punya sendiri.
Jika tidak, percuma saja diperiksa jika kemudian ternyata tidak juga bisa untuk menyelamatkan pasien.
Pasien terlanjur wafat sebelum hasil keluar.

Saya bekerja di ibukota negara, namun masih menghadapi masalah demikian rumit, apalagi dengan teman sejawat di daerah..mereka bahkan harus kirim sampel ke laboratarium yg ditunjuk seperti ke jakarta, setelah beberapa jam naik kapal kecil, kemudian baru dikirim pakai pesawat. Miris bukan ?
Mungkinkah ini bisa berpacu dg Covid-19 ?

Setelah demikian panjang fakta saya ungkap, apa masih ada rakyat yang tetap nekad keluar rumah hanya karena bosan dan bukan urusan penting ???

STAY at HOME atau jadi Korban Covid-19 !!!

Duka cita mendalam untuk dua senior saya, dokter Spesialis paru yang baru saja meninggal akibat berjuang di garda depan melawan Covid-19..juga untuk semua korban 🙏

Jakarta. 16 april 2020

Dr Eva Sridiana SpP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar