Artikel ini dimuat harian Kompas, 12 Maret 2014 Halaman 7.
Ditulis oleh Dr. Kartono Mohamad – Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia
Pada
dasarnya ada dua kelompok masyarakat yang menentang regulasi pengendalian
konsumsi rokok. Pertama, industri rokok yang ketakutan bisnisnya akan tutup.
Kedua, pencandu rokok yang takut akan sulit mendapatkan rokok yang sudah
menjeratnya. Di antara kedua kelompok itu terdapat politisi dan birokrat korup
yang menikmati dana dari industri rokok.
Bahwa industri rokok akan dengan senang hati mengucurkan
uang agar tak ada kebijakan yang membatasi geraknya, bukan rahasia lagi dan
terjadi di banyak negara. Kegerahan industri rokok akibat munculnya regulasi
pengendalian konsumsi rokok pertama kali terjadi di Amerika Serikat, negara
produsen rokok terbesar dunia. Itu dimulai setelah mencuatnya
penelitian-penelitian kesehatan yang membuktikan adanya kaitan antara konsumsi
rokok dan meningkatnya kanker paru-paru di AS.
Mulailah muncul pendapat di kalangan Pemerintah AS untuk mengendalikan konsumsi rokok. Industri rokok melawan pendapat itu dengan menyebarkan keraguan dan sanggahan bahwa produk mereka tidak berbahaya bagi kesehatan. Perlawanan itu dibarengi dengan penyebaran keraguan bahwa rokok dapat menyebabkan kanker.
Namun,
kebohongan industri rokok terungkap setelah salah seorang peneliti utama mereka
membocorkan hasil-hasil penelitian industri rokok kepada University of
California San Francisco yang menerbitkannya menjadi buku berjudul Cigarette
Paper. Di awal 2000-an, industri rokok AS kemudian divonis Mahkamah Agung
sebagai ”industri penipu” dan telah melanggar UU Racketeer Influenced and
Corrupt Organizations—yang semula ditujukan terhadap organisasi kejahatan
seperti mafia—karena sebenarnya mereka tahu bahaya rokok bagi kesehatan sejak
1950 seperti yang terungkap dari dokumen-dokumen mereka.
Ketika
pasar rokok di dalam negeri terancam akibat berkurangnya jumlah perokok dan
meningkatnya tuntutan ganti rugi perokok terhadap industri rokok, Pemerintah AS
di bawah Presiden Bush mendorong dan membantu mereka mencari pasar di negara
lain, terutama negara berkembang. Oleh karena itu, hampir tidak ada perwakilan
AS di luar negeri yang mendukung gerakan pengendalian rokok di negara tempat
mereka bertugas. Dengan kata lain, upaya mempertahankan pasar rokok AS di luar
negeri adalah bagian dari kepentingan AS juga, termasuk melakukan strategi
pembohongan, pembelokan isu, penolakan Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau
(Framework Convention on Tobacco Control/FCTC), dan penyuapan.
Ide negara berkembang
Kerangka
Konvensi Pengendalian Tembakau disusun oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
setelah banyak negara melihat bahwa penyakit yang terkait konsumsi rokok kian
meningkat. Usul ini bukan datang dari negara-negara maju, melainkan dari
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia ketika itu yang merasakan bahwa
beban kesehatan mereka membengkak akibat penyakit terkait rokok. Indonesia
bahkan duduk sebagai anggota tim perumus yang aktif.
Gagasan
konvensi ini lalu didukung negara-negara Eropa yang juga merasakan hal serupa.
Konvensi ini makin mewujud ketika WHO dipimpin oleh Gro Harlem Brundtland,
mantan PM Norwegia. Pemerintah AS, di bawah Presiden Bush, justru menolak
konvensi ini karena takut pasar industri rokok di luar negeri terancam.
Brundtland mengatakan, ”Inilah pertama kali WHO membuat kesepakatan besar yang
berbasis bukti.”
Industri
rokok besar menolak dengan dalih ”biarkan setiap negara mengatur sendiri soal
pasar rokok ini, jangan WHO ikut campur”. Pandangan yang neoliberalistik.
Perlawanan industri rokok tidak selamanya dilakukan secara frontal. Mereka
menggerakkan front runner seperti membentuk asosiasi perokok di banyak negara
dan International Tobacco Growers Association (ITGA) yang Indonesia ikut
menjadi anggotanya.
Dengan
menggunakan front runner, industri rokok berusaha mengalihkan isu kesehatan
jadi isu hak perokok dan ancaman terhadap petani tembakau. Sudah tentu disertai
upaya menyuap para politisi untuk mencegah terbentuknya peraturan yang hendak
mengendalikan konsumsi rokok. Di AS, wartawan berhasil mengungkap bahwa mereka
menyuap calon presiden dari Partai Republik, Robert Dole, sebesar 477.000
dollar AS. Dole dalam kampanyenya sangat antusias membela industri rokok ketika
Clinton justru ingin mengendalikan rokok demi melindungi kesehatan rakyat.
Di
Indonesia pun banyak politikus yang ”terbeli” dan percaya bahwa FCTC akan
mematikan petani tembakau tanpa menyebutkan pasal mana yang menyatakan
demikian. Tampak bahwa penolak FCTC di Indonesia bersuara tanpa dia sendiri
membaca isi FCTC. Kecuali Siswono Yudo Husodo yang menyebut bahwa Pasal 17 dan
26 FCTC mengancam kehidupan petani tembakau.
Mari
kita simak Pasal 17 FCTC, yang berbunyi: ”Negara penanda tangan saling bekerja
sama atau dengan organisasi antarpemerintah, jika dipandang perlu promote usaha
alternatif yang menguntungkan untuk pekerja tembakau, petani tembakau dan, jika
diperlukan, juga penjual tembakau”.
Dari
pasal ini tak ada kata atau kalimat yang hendak mematikan petani tembakau. Kata
promote dapat berarti menawarkan, memperkenalkan, atau paling keras
menganjurkan, tetapi sama sekali tidak mengandung makna menghapuskan atau mematikan.
Kata kunci di sana adalah economically viable, yang artinya jika petani
tembakau masih merasa nyaman dan untung dengan bertani tembakau, ya, biarlah
mereka bertani tembakau.
Adapun
Pasal 26, khususnya ayat 3, yang oleh Siswono juga dicurigai untuk mematikan
petani tembakau, sebenarnya mem- bahas tentang saling bantu pendanaan. Pasal
ini juga tidak mengandung kalimat, baik tersurat maupun tersirat, akan
mematikan pertanian tembakau. Kata kunci ayat ini adalah economically viable, crop diversification, in the context of nationally
developed strategies of sustainable development. Perhatikan kata nationally yang artinya terserah kepada
kepentingan setiap negara.
Kata
diversifikasi tanaman tidak juga berarti mematikan tembakau dan menggantinya
dengan tanaman lain. Diversifikasi lebih berarti memperbanyak ragam tanaman,
bukan hanya tembakau. Namun, jika ada petani tembakau yang ingin alih tanam, ia
harus didukung dan dicarikan tanaman alternatif yang menguntungkan.
Industri
rokok besar dan multinasional memang berusaha menolak FCTC dengan segala akal.
Mulai dari mencoba mengaitkannya dengan sentimen nasionalisme—sementara mereka
sendiri mencari keuntungan untuk dirinya atau negara lain, memanfaatkan
ketidaktahuan petani tembakau tetapi juga menindas mereka—sampai menyuap
politikus dan birokrat.
KARTONO
MOHAMAD, Mantan Ketua PB IDI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar